Dari kejahuan aku Cuma menerka, apakah mataku tidak salah lihat. Seorang pemuda yang seumuran 16  tahun, maybe. Dengan celana pendek dan tampa pakaian berjalan santai  dengan tatapn kosong. Muka kusut rambut ikal acak-acakan. Owh my gosh… benar itu muridku dulu, yang pernah aku didik di Sekolahanku. Tiba-tiba jantungku berdegap kencang, terasa merinding bulu tangan.

Beberapa hari yang lalu beberapa teman bercerita tetang anak ini, alumni sekolahan sini yang sekarang depresi. Sebenarnya cerita ini berawal dari Ketika tersebar berita bahwa dia, sebut saja Namanya San. San di datangi polisi pak babinkamtibmas berserta team narkotika. Mereka mencari keterangan, katanya si San ini dengan beberapa temannya memakai  obat psikotropika. Berlajut cerita desas desunya. Obat yang dipakai ternyata obat anjing. What…? Aku sempat bingung dengan cerita ini. Setelah aku googling ternyata memang benar, obat anjing ini bisa menimbulkan sensasi bagi yang meminumnya, bisa teler beberapa hari.

Cerita San ini sudah berlalu hingga aku tidak mengikuti, aku pikiI ini Cuma masAlah kenakalan remaja. Dan dia akan baik-baik saja, paling tidak bertobat dengan ditangkap polisi.

Hari berganti, minggu dan bulan berganti, maka berita yang muncul tentang si San ini adalah Ketika dia mulai terlihat berbeda. Penampilan lusuh, kadang berjalan terus tanpa henti menyusuri jalan-jalan, kadang tanpa pakaian Cuma pakai olor. Ketika diajak bicara 50% sudah terindentifikasi anak ini “setengah kopling” gak nyambung. Pernah berkeluh kepalanya pusing berat. Tapi anak ini tidak ngamuk atau berbuat onar.

Maka Ketika itu aku berpapasan dengannya dijalan, bulu tanganku merinding, aku Cuma tidak menyangka saja keadaan anak ini begitu tragisnya sampai depresi. Entah apa yang membuah dia begitu tertekan tanpa tembok perlindungan.

Anak ini setahuku tidak punya Ibu, dia dibesarkan oleh Bapaknya. Dalam keadaan dia remaja usia belasan dengan pengaruh lingkungan yang begitu keras, dia gagal bertahan diri. Mungkin Bapaknya juga tidak peduli dengan dirinya, dan dia begitu rapuh hingga menjadi seperti itu, pikirku.

Aku teringat Ketika dulu waktu kelas 4 SD, Ketika pelajaran dia cenderung pendiam. Anaknya tidak banyak bicara, kalau berbicara berbisik. Dan Ketika kami dialog dalam pembelajaran, matanya tidak sanggup menatapku, berbicara lirih tidak jelas dan matanya tertunduk. Aku merasa anak ini dari awal sudah kurang percaya diri dan merasa ada beban pada dirinya. Entah beban apa yang kamu rasakan nak. Apakah kasih sayang orang tuamu tidak kamu dapatkan? Apakah kamu sering dibully  oleh temanmu? Bayak pertanyaan yang entah kamu bisa menjawabnya atau tidak, karena sekarang duniamu ber-benteng dengan duniaku. Engkau hidup dengan  imajinasimu, kayalmu dan entah diskripsi apa yang kamu akan sampaikan pada dunia nyata ini.

Dalam perjalanan setelah melewatinya aku sempat menitikkan air mata,  teringat saat dulu mengajarnya di bangku sekolah. Memberikan pembelajaran, dan aku sempat beberapa kali membuat dia tertawa dengan cerita lucu, atau joks keci yang membuat tersenyum.

San, entah berapa lama kamu memendam rasa sakit itu. Aku kadang merasa gagal, Ketika kurang memperhatikan setiap keadaan muridku. Tapi kadang dengan banyaknya murid, tidak bisa semua aku tangani dengan maksimal. Hanya kasus kasus bully yang terlapor dan terlihat bisa aku tangani dan selesaikan ditempat. Atau kadang harus disidang dengan mendatangkan orang tuanya. Akan tetapi, Ketika rasa sakitmu itu kamu pendam, dan aku tidak tahu karena engkau tidak pernah berbicara padauk, maka aku harus minta maaf sebesar-besarnya.

Aku Cuma takut, Ketika diyaumil akhir nanti, banyak dari pertanyaan Malaikat tetang kamu atau teman-teman kamu yang secara tidak sengaja “terbiarkan”  olehku. Muridku… maafkan Bapak kurang peduli padamu. Semoga Allah mengampuniku karena pengabaianku tentangmu, dan anak-anak yang belum sempat aku lindungi.